Kamis, 23 Januari 2025, WIB
Breaking News

Jumat, 20 Okt 2023, 09:58:43 WIB, 122 View Administrator, Kategori : Budaya

Seiring perubahan iklim yang bergerak kian ekstrem, desa menghadapi situasi ironis. Mereka menyumbang emisi paling kecil, namun menerima dampak terbesar. Dampak perubahan cuaca dan menurunnya daya dukung alam terhadap sektor pertanian, serta meningkatnya bencana alam, merupakan serangkaian dampak krisis iklim yang menempatkan desa menjadi kian rentan.

Di sisi lain, mereka juga masih menghadapi problematika klasik, seperti involusi sektor pertanian, sulitnya regenerasi petani, keterbatasan infrastruktur, kemiskinan, kualitas sumber daya manusia, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan desa di tengah dua impitan permasalahan yang rumit itu?

Seiring perubahan iklim yang bergerak kian ekstrem, desa menghadapi situasi ironis. Mereka menyumbang emisi paling kecil, namun menerima dampak terbesar. Dampak perubahan cuaca dan menurunnya daya dukung alam terhadap sektor pertanian, serta meningkatnya bencana alam, merupakan serangkaian dampak krisis iklim yang menempatkan desa menjadi kian rentan.

Di sisi lain, mereka juga masih menghadapi problematika klasik, seperti involusi sektor pertanian, sulitnya regenerasi petani, keterbatasan infrastruktur, kemiskinan, kualitas sumber daya manusia, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan desa di tengah dua impitan permasalahan yang rumit itu?

 

Relatif lambannya pemulihan ekonomi perdesaan dari dampak pandemi Covid-19 adalah betapa lebih rentannya desa terkena empasan krisis daripada perkotaan. Hasil kajian Bank Dunia 2020 menemukan, meskipun terus berkurang dari 20 persen menjadi 13 persen dari 2007 hingga 2018, namun tren ini melambat seiring pandemi Covid-19. Pada Juli 2023, penurunan kemiskinan di perdesaan hanya 0,14 persen, sementara laju penurunan di perkotaan lebih besar, yaitu 0,24 persen (Badan Pusat Statistik, Juli 2023).

 

Kemiskinan di perdesaan mengalami stagnasi di beberapa daerah karena pertumbuhan ekonomi yang belum inklusif. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebesar sekitar 5 persen selama lebih dari satu dekade telah menghasilkan perluasan peluang ekonomi di luar pertanian, dan banyak penduduk perdesaan yang merasakan manfaatnya. Namun, peluang tersebut belum tersedia di semua jenis lokasi perdesaan (Bank Dunia, 2020).

 

Daerah-daerah yang lebih terhubung dengan baik dan dekat dengan aglomerasi perkotaan, terutama di Jawa-Bali, dan juga di sekitar kota-kota besar di Sulawesi dan Sumatera, telah mampu melakukan transisi yang lebih cepat menuju pekerjaan di luar pertanian yang lebih baik. Sebaliknya, terbatasnya aglomerasi perkotaan di Indonesia Timur kurang berdampak terhadap hadirnya kegiatan di luar pertanian.

 

Meski demikian, sektor pertanian masih menjadi yang terbesar menyumbang perekonomian desa. Sayangnya, sejak 2007, pendapatan pekerja pertanian perdesaan dan pekerja lepas di luar Jawa dan Bali mengalami stagnasi, hanya meningkat sebesar 15 persen, sementara upah riil meningkat sebesar 62 persen di Jawa dan Bali (BPS, 2020). Involusi sektor ini dan alih fungsi lahan pertanian merupakan penyebab utama stagnasi tersebut.

 

Bencana Alam

 

Pada saat yang sama, perubahan iklim mengakibatkan pergeseran curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembaban tanah yang berdampak terhadap pola produksi dan hasil panen. Perubahan iklim juga mendorong kenaikan intensitas bencana alam yang turut mempersulit pertanian di desa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, terdapat kenaikan jumlah bencana alam hingga 82% antara 2010 hingga 2022. Peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan peningkatan tersebut. Hingga Juli 2023, terdapat 1.862 bencana alam di negeri ini, yang 99 persen di antaranya berupa bencana hidrometeorologi dan sebagian besar terjadi di wilayah perdesaan.

Mengingat hubungan antara ketersediaan sumber daya alam dan sosio-ekonomi masyarakat perdesaan di pesisir, maka segala macam bentuk bencana alam berpengaruh terhadap penghidupan masyarakat desa.

Pemerintah sebenarnya telah menempatkan pembangunan desa sebagai prioritas, khususnya melalui penerapan Undang Undang Desa sejak tahun 2014. Penerapan UU ini bertujuan membangun kemandirian masyarakat desa sebagai basis kesejahteraan masyarakat.

Namun, setelah 10 tahun berjalan, alih-alih mandiri, sebagian besar desa justru semakin tergantung dengan pusat. Dana desa yang semestinya dapat digunakan sebagai instrumen untuk memperkuat perekonomian masyarakat dan pertanian, lebih banyak terserap untuk memenuhi target-target program pemerintah pusat. Desa lebih mendahulukan mengurusi kepentingan kebijakan atau program dari supradesa. Hal ini membuat masalah-masalah desa sendiri menjadi kurang terurus.

Di sisi lain, kapasitas sumber daya manusia pengelola desa masih belum merata. Kecakapan birokrasi desa dalam membuat perencanaan, perumusan strategi, dan implementasinya masih perlu ditingkatkan. Pelibatan masyarakat secara inklusif dalam pengambilan keputusan juga masih relatif kurang.

Namun demikian, UU Desa hanyalah salah satu instrumen. Kesejahteraan masyarakat desa membutuhkan instrumen yang lebih luas, terutama kebijakan pertanian. Hal ini karena lebih dari separuh angkatan kerja di perdesaan bekerja di bidang pertanian. Dengan begitu, peningkatan pendapatan dari sektor pertanian jelas merupakan jalan keluar bagi pengentasan kemiskinan (Bank Dunia, 2020).

Ada pilihan untuk meningkatkan produksi pangan melalui akses terhadap mekanisasi dan penyuluhan pertanian lokal. Diversifikasi tanaman juga dapat diupayakan melalui hak kepemilikan lahan yang lebih kuat, akses yang lebih baik terhadap pasar, dan pendidikan yang lebih baik.

Empat Langkah

Namun demikian, peningkatan produksi pertanian dan diversifikasi desa tersebut tak bisa hadir begitu saja dan langsung mendongkrak kesejahteraan masyarakat desa. Diperlukan sejumlah langkah untuk menyertainya, terutama guna memastikan agar peningkatan produksi pertanian seturut dengan strategi adaptasi perubahan iklim.

Pertama, pemberian akses masyarakat desa terhadap layanan dasar secara lebih baik, seperti infrastruktur, layanan keuangan, perawatan kesehatan, perlindungan sosial, penyuluhan, dan logistik transportasi, akses keuangan, dan dukungan untuk pengelompokan produksi pertanian antardesa.

Pemberian akses layanan dasar ini merupakan fondasi tangguh untuk pembangunan yang cepat dan inklusif sekaligus tangguh iklim. Masyarakat desa yang miskin dan tertinggal dengan akses ke layanan dasar yang lemah merupakan kelompok masyarakat paling rentan terdampak perubahan iklim. Semakin miskin masyarakat, semakin banyak perubahan iklim akan mempengaruhi mereka.

Tidak ada strategi adaptasi perubahan iklim yang berhasil tanpa memastikan populasi dengan kerentanan tinggi memiliki sumber daya keuangan, teknis, dan kelembagaan yang mereka perlukan untuk beradaptasi.

Kedua, meningkatkan kapasitas adaptif petani, rumah tangga, komunitas, dan pelaku usaha di desa. Pemerintah dapat mewujudkan hal ini melalui penyediaan informasi tentang risiko iklim, mengklarifikasi tanggung jawab dan kewajiban, mendukung inovasi dan akses ke teknologi terbaik, dan memastikan pembiayaan tersedia untuk masyarakat miskin terutama untuk solusi yang memerlukan biaya awal yang tinggi. Misalnya, informasi tentang benih pertanian yang adaptif dengan perubahan iklim, serta membantu penyediaannya untuk petani-petani yang terdampak krisis iklim.

 

Ketiga, mengembangkan strategi yang dapat memastikan bahwa ketika bencana benar-benar terjadi, masyarakat desa dapat bertahan tanpa konsekuensi jangka panjang yang merusak, serta dapat pulih dengan cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan penyediaan data hidrometeorologi yang lebih baik, sistem peringatan dini dan manajemen darurat mengurangi kerusakan fisik dan kerugian ekonomi.

 

Di samping itu, tersedianya sumber pembiayaan yang inklusif usai bencana, seperti akses ke pinjaman darurat, dan bantuan sosial, yang dapat membantu masyarakat miskin dan petani bangkit kembali, sangat dibutuhkan.

Keempat, mendorong sistem pertanian ramah lingkungan yang dapat menjadi jalan adaptasi sekaligus mitigasi perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama karena untuk tujuan ekonomi, seperti pemanfaatan energi fosil, alih fungsi hutan, limbah dan sampah, serta sistem pertanian yang tak ramah lingkungan. Oleh karena itu, penerapan sistem pertanian ramah lingkungan secara perlahan perlu dimulai lebih luas guna turut menekan produksi karbon di atmosfer, sekaligus dapat membuka peluang sumber kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Dengan langkah-langkah tersebut, masyarakat desa berpeluang keluar dari impitan masalah perubahan iklim dan kemiskinan, sekaligus dapat turut berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Jika tidak, perubahan iklim akan memperdalam problematika kemiskinan di perdesaa

Baca artikel detiknews, "Desa, Perubahan Iklim, dan Kemiskinan" selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6984837/desa-perubahan-iklim-dan-kemiskinan.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

 



Saat Raja Belajar Bertutur Kata
Jumat, 20 Okt 2023, 10:42:49 WIB, Dibaca : 171 Kali
Dampak Kemarau Panjang, 11 Kecamatan dan 21 Desa Krisis Air Bersih
Jumat, 20 Okt 2023, 09:52:54 WIB, Dibaca : 1023 Kali
Desa, Perubahan Iklim dan Kemiskinan
Jumat, 20 Okt 2023, 09:58:43 WIB, Dibaca : 122 Kali

Tuliskan Komentar